Belajar Perang dari Australia
Setelah ditunda tahun lalu, akhir Februari 2017 Presiden Joko Widodo dijadwalkan mengadakan kunjungan kenegaraan ke Australia. Kunjungan Presiden Jokowi kali ini bisa disebut istimewa, karena akan selalu dihubungkan dengan insiden materi pelajaran bahasa yang sempat terjadi di markas Special Air Service Regiment (SASR), di Perth, akhir tahun lalu.
Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan bahwa kunjungan Presiden Jokowi ke Australia terkait dengan insiden tersebut, namun dengan kunjungan nanti, merupakan sinyal bahwa kasus tersebut dianggap selesai.
Pada tataran kelembagaan pertahanan kedua negara, kasus tersebut juga sudah bisa disebut selesai, ketika Chief of Army (KSAD) Australia Letjen Angus Campbell menyampaikan permintaan maaf secara resmi pada Panglima TNI, baru-baru ini di Mabes TNI Cilangkap. Secara protokoler dan etika hubungan antar negara, prosedur itu sudah memadai. Tinggal bagaimana kedua pihak menjaga hubungan yang sudah mulai mencair ini.
Belajar Perang dari Australia
|
Kalau kita ingat, hubungan Indonesia dan Australia memang memiliki pasang surutnya sendiri. Di masa Orde Baru misalnya, Australia melalui PM Gough Whitlam (1972-1975) ikut memberi jalan ketika Indonesia berencana melakukan invasi ke Timor Timur, dalam sebuah pertemuan dengan Presiden Soeharto di Wonosobo, Jateng (1974). Namun di kemudian hari Australia pula yang paling aktif mendukung agar Timor Leste bisa lepas dari Indonesia.
Memang selalu ada batu kerikil dalam hubungan antara Indonesia dan Australia, tetapi eskalasi konfliknya tidak serumit dengan yang terjadi di Laut Cina Selatan hari-hari ini. Bahkan untuk kerja sama pertahanan, hubungan kedua negara bisa disebut clear, sebelum adanya insiden di Perth itu. Memang sempat ada pelajaran pahit soal hibah pesawat Hercules, karena pesawat ini jatuh di Papua (pertengahan Desember 2016), belum genap setahun pasca diterima dari RAAF (The Royal Australian Air Force).
Bantuan Australia yang paling signifikan adalah ketika RAAF menghibahkan satu skadron (16 unit) F-86 Avon Sabre kepada TNI AU, di awal 1970-an. Bantuan ini sangat fenomenal, mengingat saat itu kekuatan pesawat tempur TNI AU berada di titik nadir, pasca berakhirnya era kejayaan pesawat supersonik (keluarga) MiG, akibat embargo suku cadang dari Rusia, menyusul peristiwa tragedi nasional tahun 1965.
Dari segi kecanggihan, F-86 masih kalah jauh dibanding keluarga MiG. Pesawat MiG-21 misalnya, sudah sanggup mencapai kecepatan Mach 2 (dua kali kecepatan suara), sementara F-86 maksimum Mach 1. Namun masalahnya bukan di situ, arti penting F-86 adalah untuk memelihara kemampuan para fighter (penerbang tempur) kita, setelah jajaran pesawat MiG di-grounded. Juga untuk menyiapkan penerbang tempur generasi baru, bila sewaktu-waktu menerima pesawat yang lebih canggih.
Hal itu terbukti, ketika dua penerbang tempur F-16 Fighting Falcon generasi pertama, yakni (dengan pangkat terakhir) Marsdya Wartoyo (AAU 1971, terakhir WAKSAU) dan Marsdya M Basri Sidehabi (AAU 1974, terakhir Dansesko TNI) adalah penerbang yang dibesarkan melalui F-86 Sabre, juga F-5E Tiger. Salah satu penerbang F-86 Sabre bahkan sempat menjadi Menkopolhukan, Panglima TNI dan KSAU, yaitu Marsekal Djoko Suyanto (AAU 1973).
Selama dua dasawarsa terakhir Australia menggunakan enam kapal selam kelas Collin bertenaga diesel buat mengamankan wilayahnya. Namun dalam waktu dekat kapal selam buatan dalam negeri itu harus dibesituakan dan diganti dengan jenis teranyar dengan balutan teknologi paling mutakhir saat ini. Hasilnya adalah Barakuda Sirip Pendek buatan Perancis.
Selalu ada tempat untuk pendidikan militer
Satu lagi yang patut dicatat, Australia tidak sekeras Amerika Serikat dalam hal sanksi kerja sama militer. Mungkin kita masih ingat, bagaimana AS menghentikan seluruh bantuan pendidikan bagi perwira TNI, yang dikenal sebagai program IMET (International Military Education & Training), sebagai dampak dari Peristiwa Santa Cruz, Dili, November 1991.
Sementara bagi Australia, di tengah pasang surut hubungan kedua negara, selalu ada alokasi bagi perwira TNI dalam lembaga pendidikan lanjutan seperti Australian Command and Staff College (setingkat Sesko matra) atau Centre for Defence and Strategic Studies (CDSS, kira-kira setingkat Lemhanas).
Posisi Australia penting, karena militer Australia masih kuat memegang tradisi militer Barat (khususnya Inggris), namun dekat secara geografis. Jadi ketika kita diembargo AS dalam hal pendidikan dan update strategi tempur, kita masih bisa menimba ilmu dari Australia.
Pada pertengahan tahun 1990-an, mulai muncul tren apa yang dikenal sebagai perang perkotaan (urban war), sebagai antisipasi ancaman terorisme dan model pertempuran di kawasan Timur Tengah. Hingga muncul metode pelatihan Close Quarter Battle (CQB, pertempuran jarak dekat) dan Military Operation in Urban Terain (MOUT). TNI, khususnya Kopassus dan Korps Marinir banyak belajar dari tentara Australia, termasuk update perkembangan dua model tempur tersebut, sampai sekarang. Aris Santoso.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD), kini staf administrasi di lembaga yang bergerak di bidang HAM (KontraS).
Sumber : http://www.dw.com/id/rubrik/s-11546
Tidak ada komentar:
Write Comments