Di Balik Keputusan Mengebom Hiroshima-Nagasaki

Keputusan Mengebom Hiroshima-Nagasaki


Tatkala merancang bom maut yang membumihanguskan Hiroshima dan Nagaski, Dr Robert Oppenheimer ingat sepenggal kalimat dalam buku Bhagavad Gita.

“…Apabila sinar dari seribu Matahari serentak memecah ke langit, maka seperti itulah kemegahan Sang Perkasa Tunggal…. Aku adalah Kematian, Penghancur Alam Semesta”.
Di balik pemusnahan kedua kota, sesungguhnya Presiden Harry S. Truman sendiri yang menjadi alat dan sekaligus korban dari bom atom karena Jepang sebetulnya sudah kalah.

Pasukan Marinir dan Angkatan Darat Amerika Serikat yang berjumlah lebih dari 180 ribu orang mendarat di pulau yang terletak 350 mil barat daya Jepang itu pada 1 April 1945, dan baru berhasil mematahkan perlawanan sengit terakhir Jepang pada 21 Juni 1945.
Di Balik Keputusan Mengebom Hiroshima-Nagasaki

Di Balik Keputusan Mengebom Hiroshima-Nagasaki
Di Balik Keputusan Mengebom Hiroshima-Nagasaki 

Sekitar 7 ribu pasukan penyerbu termasuk salah seorang panglimanya, Jenderal Simon B. Buckner tewas. Lebih dari itu 5 ribu pelaut juga tewas dalam pertempuran di laut sekitar pulau tersebut. Di lain pihak Jepang kehilangan 70 ribu tentara dan 80 ribu penduduk.

Nah, sesudah Okinawa direbut, Washington selanjutnya memikirkan langkah untuk menaklukkan Jepang. Pimpinan militer AS menugaskan Jenderal Douglas MacArthur dan Laksamana Chester Nimitz untuk merancang dan menyiapkan serbuan terhadap daratan Jepang. Namun yang terjadi, pimpinan AD dan AL AS ternyata punya strategi berbeda.

Pihak AL berpendapat, sasaran utama selanjutnya adalah menguasai pantai China bagian selatan. Dari situ bombardemen serta blokade terhadap Jepang dapat dilakukan secara efektif. Mereka yakin dengan tekanan itu Jepang akan takluk tanpa harus melakukan invasi yang dikhawatirkan akan menelan korban luar biasa besar. Pasalnya, kalau di Okinawa saja korban tentara AS sudah begitu’ tinggi, apalagi di daratan Jepang di many posisi pertahanan Jepang jauh lebih kuat dan menguntungkan.

Tetapi sebaliknya, para ahli strategi AD termasuk MacArthur menganggap usul AL itu tidak menjamin keberhasilan. Mereka mengatakan strategi itu hanya akan mengulur waktu peperangan sampai bertahun-tahun lagi, meskipun diakui pengeboman terus-menerus terhadap Jepang akan mengurangi korban di pihak Amerika. Namun bombardemen saja tidaklah menjamin Jepang akan takluk, sebagaimana telah dibuktikan oleh Jerman Nazi yang tidak juga terkalahkan hanya dengan pengeboman yang bahkan lebih hebat daripada yang bisa dilakukan terhadap Jepang.

MacArthur mendesak agar dilancarkan operasi pendaratan di Kyushu, pulau paling selatan di Jepang, lalu dilanjutkan invasi ke pulau utama Honshu. Serbuan ke Kyushu dengan kode Operasi Olympic direncanakan akan dilakukan pada musim gugur 1945. Sedang serangan ke Honshu lewat Operasi Coronet dijadwalkan pada Maret 1946.
Untuk invasi ke Honshu disiapkan 767.000 pasukan darat dan marinir, termasuk dua divisi yang akan didaratkan di Pulau Shikoku sebagai pengalih perhatian. Diperhitungkan apabila di Okinawa jumlah korban di pihak penyerbu mencapai 35 persen, maka serbuan ke Kyushu ditaksir akan mengorbankan sekitar 268.000 pasukan AS.

Pihak Jepang sendiri telah memperhitungkan kemungkinan invasi tersebut. Mereka lalu mempersiapkan segala sesuatu untuk mempertahankan pulau-pulaunya. Di Kyushu disiagakan 14 divisi dan lima brigade independen dengan jumlah pasukan sebanding dengan pihak penyerbu. Pimpinan militer Jepang pun menyerukan setiap orang dewasa yang mampu, baik pria maupun wanita, “untuk siap dipanggil ikut dalam pertempuran, serta rela mengorbankan jiwa dalam serangan bunuh diri terhadap pasukan musuh.”

Dalam sebuah penelitian pada September 1944, pihak AD AS menyimpulkan, bahwa pendaratan di Jepang adalah lebih sulit dan lebih membahayakan dibandingkan invasi Normandia, D-Day di Eropa.

Soal menyerah tanpa syarat
Penyebab pokok mengapa Jepang seperti halnya juga Jerman Nazi tidak bersedia menyerah lebih awal, menurut para pengamat, adalah adanya tuntutan menyerah tanpa syarat yang diajukan Presiden Roosevelt di Casablanca.

Tuntutan ini hanya membuat perlawanan Jerman maupun Jepang bertambah gigih karena tidak ada harapan atau alternatif lain untuk mengakhiri perang dengan syarat yang lebih baik.
Khusus bagi Jepang, tuntutan menyerah tanpa syarat itu diartikan tidak ada jaminan bahwa sistem kekaisaran serta kaisarnya sendiri akan dipertahankan, padahal kepada lembaga inilah kesetiaan orang Jepang termasuk para pemimpinnya merupakan hal yang paling utama.

Hasil jajak pendapat umum di AS menunjukkan sebagian besar orang Amerika menginginkan kaisar dicopot, bahkan harus dihukum mati. Namun itu dipahami oleh kalangan pemerintahan AS sendiri sebagai sikap emosional dan tidak memahami budaya bangsa Jepang.
Para pakar di Departemen Luar Negeri mengusulkan dipertahankannya sistem kekaisaran sesudah perang, karena sistem ini akan menjadi unsur stabilitas dalam reformasi Jepang pasca perang.
Para pemimpin militer AS pun berpendapat serupa. Bahkan ikut mengusulkan perubahan rumusan tuntutan menyerah terhadap Tokyo dengan tambahan pernyataan tetap mempertahankan kaisar serta sistem kekaisaran.

Namun kalangan penasihat Presiden Harry S. Truman yang menggantikan Roosevelt yang meninggal dunia pada 12 April 1945, berpendapat lain. Mereka menentang modifikasi persyaratan menyerahnya Jepang, antara lain dengan alasan karena rakyat AS umumnya juga membenci kaisar Jepang dan menghendaki Jepang bertekuk lutut tanpa syarat apa pun. Apabila Truman sampai menyetujui perubahan persyaratan itu, maka hal itu justru akan merugikan posisinya sendiri di hadapan rakyatnya. Truman pun terombang ambing.

Sementara itu di Jepang sendiri, sejumlah elite di kalangan pemerintah juga menyadari risiko dan bahayanya apabila perang terus dilanjutkan.Munculnya kesadaran ini terutama baru setelah kabinet perang pimpinan PM jendral Hidiki Tojo jatuh pada juli 1944.Kabinet baru pimpinan jendral (purn) Kuniaki Kosiko di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang menginginkan perang segera diakhiri,seperti Laksamana Mitsumasa Yonai.Namun pendekatannya tidak membuahkan hasil,dan pada April 1945 kabinet berangkat lagi dengan PM Laksamana (purn) Kantaro Suzuki.sebagai menteri luar negri, ia mengangkat shigemori Togo, seorang tokoh pengecam perang dan militerisme yang paling vokal.
Pemerintahan Suzuki melanjutkan upaya diam-diam pemerintahan sebelumnya untuk mendekati Uni Soviet, yang ketika itu masih netral dalam peperangan dikawasan Pasifik.

Tokyo mengharapkan jasa baik Moskow agar bersedia menjadi perantara ke sekutu untuk memperoleh syarat yang lebih baik dalam memgakhiri perang.Untuk itu jepang bersedia membalas jasa uni soviet dengan memberi konsesi ekonomi maupun memberi wilayah Timur jauh.Namun pimpinan soviet, Josef Stalin mengetahui kondisi jepang yang sudah terpepet itu. Ia pun mengulur-ulur waktu sembari menunggu saat yang tepat untuk bertindak guna keuntunganya sendiri di timur jauh.
Kaisar Hirohito yang juga menyadari kegentingan keadaan, pada 22 Juni 1945 mengundang Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan pimpinan militer ke istananya.

Kaisar mengambil inisiatif dengan mendesak para pimpinan pemerintah dan militer untuk berusaha mengakhiri peperangan melalui diplomatik. Desakan Kaisar ini memang membawa hasil, karena Menteri Peperangan maupun Kepala Staf Tentara walaupun dengan berat hati, akhirnya setuju menyelesaikan perang melalui meja perundingan. Usaha mendekati Uni Soviet pun ditingkatkan melalui Dubes Naotake di Moskow.

Dr Robert Oppenheimer yang timnya merancang dan membuat bom tersebut di Los Alamos, menyaksikan uji coba peledakan tersebut dari jarak 10.000 yard dalam tempat perlindungan khusus.
Ia menyaksikan sendiri betapa dahsyatnya sifat dan bentuk ledakan tersebut. Oppenheimer yang pernah mempelajari bahasa Sansekerta di Universitas Harvard, langsung teringat beberapa kalimat dari kitab Bhagavad Gita: “…Apabila sinar dari seribu Matahari serentak memecah ke langit, maka seperti itulah kemegahan Sang Perkasa Tunggal Aku adalah Kematian, Penghancur Alam Semesta”
Tatkala peledakan born atom ini terjadi, Presiden Truman sedang bertemu dengan PM Inggris Winston Churchill dan pemimpin Soviet Stalin di Postdam, di pinggiran kota Berlin.

Truman dilapori keberhasilan itu, dan menurut ingatan Churchill, sontak Truman menunjukkan perubahan sikap setelah mengetahui bahwa negaranya kini memiliki bom atom.

Truman yang semula dalam kesulitan menghadapi Stalin mengenai soal Eropa Timur pasca perang, lalu berubah menunjukkan sikap lebih percaya diri dan lebih tegas dalam perundingan tersebut.
Menjelang akhir perundingan, tanpa menyebut istilah nuklir atau atom, Truman sepintas memberitahu Stalin bahwa “kami kini telah mempunyai senjata baru yang memiliki kemampuan menghancurkan luar biasa.”
Stalin yang diam-diam sebenarnya telah mengendus apa yang dikerjakan AS, mampu menutupi kekagetannya dan hanya berkomentar hendaknya AS dapat memanfaatkan senjata itu dengan sebaik-baiknya dalam menghadapi Jepang.

Namun setelah itu Stalin pun langsung buru-buru menghubungi Moskow dan memerintahkan para ilmuwan Soviet untuk segera, dan dengan segala cara, menghasilkan senjata pemusnah serupa!
Apabila AS semula mengharapkan dan menghendaki Uni Soviet segera melibatkan diri dalam perang terhadap Jepang, maka kini setelah memiliki bom atom, Washington pun berpandangan lain. Tadinya bantuan dari Soviet amat diperlukan untuk mengurangi tekanan Jepang terhadap Sekutu di Asia Tenggara dan Pasifik. Namun ketika itu Moskow punya alasan untuk tidak memerangi Jepang karena dia sendiri sedang bertahan mati matian terhadap serbuan Jerman Nazi.

Dengan bom atom, AS kini bisa berharap dapat mempercepat selesainya peperangan dengan Jepang tanpa keikutsertaan Uni Soviet. Para ahli strategi AS sendiri khawatir, keterlibatan Soviet melawan Jepang hanya akan menimbulkan komplikasi di kemudian hari seusai perang.

Persiapan dan kondisi Jepang

Sementara itu sejak Maret 1945 Jepang terus menerus didera pengeboman oleh kekuatan udara AS yang mengerahkan pesawat-pesawat pengebom berat B-29 Flying Fortress. Setiap kali serangan, Panglima Komando Pengebom Amerika Jenderal Curtis LeMay mengerahkan sekitar 500 pesawat.
Perlawanan dari pesawat pemburu atau meriam penangkis udara Jepang tidak berarti, sehingga pengeboman dapat dilakukan leluasa, berpindah-pindah sasaran dari satu kota ke kota yang lain. Kehancuran industri dan kota-kota di Jepang luar biasa, lebih-lebih mengingat struktur bangunan penduduk umumnya dari kayu yang mudah terbakar.
Kota Nagoya telah berubah menjadi kota puing-puing. Ibukota Tokyo sendiri mengalami serangan udara besar dengan bom bakar, sehingga puluhan mil persegi kota itu rata dengan tanah. Badai api akibat pengeboman pada 9-10 Maret menewaskan sedikitnya 87.000 penduduk sipil.
Khusus untuk serangan ke Tokyo, penerbang-penerbang AS telah diinstruksikan untuk menjauhi kompleks Istana Kaisar. Sekalipun demikian tak urung sebagian dari istana ikut terjilat api karena hebatnya kebakaran di sekitarnya.

Beberapa hari kemudian LeMay menyerang kota Yokohama, dan tatkala ke-517 pesawat penyerang telah pergi, maka 85 persen kota tersebut masih berkobar hebat. Setelah Tokyo dan Yokohama ludes, sasaran pindah ke Osaka dan Kobe dengan hasil serupa.

Hanya Kyoto saja yang tidak pernah diserang mengingat nilainya yang tinggi sebagai kota pusat kebudayaan. Dan rangkaian serangan udara tersebut, lebih dari seratus mil persegi kawasan kota-kota besar Jepang rata dengan tanah, sepertiga bangunan gedung hancur, dan sekitar dua juta rumah tinggal musnah dengan akibat 13 juta penduduk kehilangan tempat tinggal. Jumlah korban penduduk sipil sangat besar.

Jalur-jalur transportasi juga hancur, sehingga dikhawatirkan hubungan kereta api antar kota segera akan terhenti, dan ini berarti distribusi barang kebutuhan pun mandek.
Dihajar seperti itu, Jepang pun sempoyongan, namun tidak juga terjatuh. Barang atau materi untuk kebutuhan perang maupun kehidupan sehari-hari semakin langka. Bahan bakar minyak, baja, aluminium, dan sebagainya semakin terbatas.

Rakyat pun diminta untuk menyuling minyak dari akar pohon pinus. Penduduk kota-kota yang paling terpukul juga mulai kekurangan makanan. Sehingga setiap hari Minggu, banyak dari mereka datang ke pedesaan sekitar, menukarkan barang berharga mereka seperti perhiasan, pakaian, dan sebagainya dengan sayur mayur, beras, kentang dan lain-lainnya yang dihasilkan petani.
Dalam keadaan demikian, di kalangan pemerintahan dan tokohnya timbul sikap mendua. Di satu pihak menginginkan pengakhiran perang, namun dengan persyaratan yang lebih baik dibandingkan menyerah tanpa syarat seperti yang dituntut Sekutu. Tetapi di lain pihak, mereka tetap bersiap diri menghadapi invasi AS. Jepang masih berharap bisa memperoleh satu saja kemenangan besar sehingga nantinya dapat mengakhiri peperangan dengan lebih terhormat.

Dewan tertinggi yang kini memimpin peperangan Jepang dikenal dengan sebutan Enam Besar, karena mereka terdiri dari enam tokoh yang didominasi militer, yaitu PM Laks. (Purn) Suzuki, Laksamana Mitsumasa Yonai selaku menteri AL, Jenderal Korechika Anami sebagai Menteri AD,
Soemi Toyoda yang memimpin Staf Umum AL, dan Jenderal Yoshijuri Umezu yang mengepalai Staf Umum AD. Satu-satunya yang sipil adalah Menlu Togo. Dengan komposisi demikian, maka kehendak dan kepentingan militer dapat lebih diakomodasi, sementara PM Suzuki sendiri harus berhati-hati untuk tidak bermusuhan dengan AD yang lebih kuat dan dapat melakukan kudeta. Ia ingat betul pada 1936 nyaris terbunuh dalam peristiwa percobaan kup oleh sekelompok perwira AD.

Dewan ini bersama pihak militer merancang Operasi Penentuan atau KetsuGo, yang intinya adalah rencana pertahanan Pulau Kyushu, dengan tujuan mampu memukul mundur penyerbuan pertama musuh. Sekalipun akhirnya memang tidak dapat menahan invasi AS, namun setidaknya pukulan awal yang diberikan Jepang akan menimbulkan kerugian besar bagi AS sehingga membuka kemungkinan pengakhiran perang lewat perundingan.Sementara itu di kalangan tentara pun ada kelompok yang berpendirian lebih baik Jepang hancur lebur daripada harus menyerah kalah.

Perhitungan korban

Deklarasi Postdam diumumkan pada 26 Juli. Dalam deklarasi ini memang masih tercantum persyaratan menyerah tanpa syarat, namun hal ini lebih ditujukan terhadap Angkatan Bersenjata Jepang.Sedangkan mengenai sistem kekaisaran atau kaisarnya sendiri, deklarasi itu membuka pintu dengan menyebutkan bahwa pemerintahan di Jepang akan diserahkan kepada kehendak bebas dari rakyatnya.

Deklarasi yang terdiri dari 13 pasal itu ditutup dengan ancaman jika Pemerintah Jepang tidak bersedia mengumumkan penyerahan tanpa syarat seluruh angkatan bersenjatanya, maka alternatifnya adalah penghancuran lebih lanjut negeri Jepang.
Dubes Jepang di Moskow, Naotake Sato berpendapat bahwa persyaratan dari Postdam itu sebenarnya lebih baik dari pada yang telah dipaksakan terhadap jerman Nazi, dan sebaiknya diterima oleh Tokyo.

Namun ternyata reaksi dari Tokyo terhadap Deklarasi Postdam dingin-dingin saja. PM Suzuki bahkan menyatakan tidak perlu menanggapinya dengan serius. Berita utama koran The New York Times terbitan 30 full dengan judul besar-besar menuliskan Jepang Resmi Menolak Ultimatum Sekutu.
Dinas Intelijen AS menangkap pesan-pesan rahasia Jepang yang di satu pihak masih mempersoalkan persyaratan pengakhiran perang yang tampaknya tidak mungkin diterima oleh AS.
Sementara di lain pihak juga tersadap sinyal-sinyal militer Jepang yang terus menyiapkan diri untuk pertahanan tanah air. Persiapan bertahan ini dinilai sebagai sikap bersikeras militer Jepang untuk meneruskan peperangan di negerinya sendiri, dan AS pun menganggap bahwa AD Jepang masih menjadi kekuatan paling dominan di Jepang. Karena itulah disimpulkan bahwa bagaimana pun Jepang tidak memiliki kesediaan untuk menyerah.

Persoalannya kemudian adaiah bagaimana memutuskan untuk meneruskan rencana invasi ke daratan Jepang, termasuk menggunakan alternatif penggunaan bom atom. Berbagai saran dan pertimbangan dikumpulkan Presiden Truman, karena akhirnya dialah yang harus memberi keputusan terakhir.

Dalam soal hitung menghitung taksiran korban yang akan jatuh di pihak AS dalam penyerbuan, Kepala Staf Gabungan Jenderal George Marshall dilaporkan pernah menyebutkan angka korban tewas dan luka-luka akan berkisar antara 250.000 hingga satu juta orang. Sementara Menteri Peperangan Henry Stimson mengaku pernah mendapat laporan bahwa harga yang harus dibayar adalah sekitar satu juta korban, mati maupun terluka. PM Churchill bahkan sempat menyampaikan angka yang lebih hebat lagi, yaitu satu juta nyawa AS ditambah setengah juta Inggris yang akan hilang dalam upaya terakhir menaklukkan negeri ini.

Tetapi ada pula hitungan yang lebih moderat, yang dikeluarkan oleh komisi gabungan perencanaan perang di Washington. Hitungan ini menyebut bahwa untuk serbuan ke Kyushu dan dataran Tokyo, korban di pihak AS adalah 40.000 tewas, 190.000 luka-luka, dan 3.500 hilang. Sedangkan Jenderal MacArthur memproyeksikan dalam 30 hari pertama pertempuran, korban akan mencapai 50.800 dan untuk 90 hari pertempuran sekitar 105.000 korban, mati maupun yang terluka.

Keputusan Truman

Sementara itu pertimbangan mengenai kemungkinan penggunaan bom atom juga disusun. Sebuah panel terdiri dari para ahli dibentuk untuk membuat usulan. Dr. Oppenheimer memperkirakan sedikitnya 20.000 orang akan mati dengan satu ledakan saja, sehingga Menteri Stimson berpendapat agar bom ini diarahkan terhadap obyek kemiliteran saja. Panelis lain yang mengetahui kedahsyatan bom ini mengusulkan, untuk meyakinkan jepang bagaimana jika kehebatan daya penghancur bom ini didemokan di suatu wilayah Jepang yang relatif terisolir. Perdebatan pun terjadi,dan akhirnya direkomendasikan permakaian bom atom terhadap Jepang tanpa peringatan terlebih dulu.
Hiroshima akan dijadikan sasaran pertama, dengan pertimbangan ini adalah kota terbesar yang belum pernah diserang dengan bom bakar, dan dikenal sebagai kota tentara karena di situ terdapat Mabes Tentara Kedua dengan sekitar 42.000 pasukan.

Di sini juga ada pelabuhan militer penting. Kota yang terletak di bagian selatan pulau utama Honshu ini dihuni lebih dari 360.000 orang, namun 120.000 di antaranya telah mengungsi keluar kota.
Sekalipun demikian, rekomendasi itu tidaklah lolos begitu saja. Sejumlah pakar yang tergabung dalam proses pengembangan senjata itu keberatan menggunakan bom atom Untuk tujuan perang. Dipimpin oleh seorang ahli fisika Dr James Franck, seorang pemenang Nobel, mereka menyatakan jika AS sampai menjadi negara pertama yang menggunakan senjata penghancur kemanusiaan ini, maka itu berarti AS mengorbankan dukungan publik dunia, memulai lomba senjata, dan mengucilkan kemungkinan tercapainya perjanjian Internasional untuk mengendalikan persenjataan semacam itu.
Namun keberatan mereka ditampik, dan pertemuan khusus diadakan oleh Presiden Turman dengan menteri peperangan serta para kepala staf gabungan. Asisten Menteri Peperangan John McCloy sampai pada saat terakhir menentang pemakaian bom atom dan masih menyarankan agar hal itu diultimatumkan terlebih dahulu terhadap Jepang. Apabila Jepang menerima ultimatum bom atom, maka selain menghindari banyak korban, AS pun akan meraih posisi moral lebih baik karena tidak menggunakan senjata pemusnah massal tersebut.

Dalam proses perkembangan selanjutnya, Presiden Truman akhirnya memutuskan bahwa bom itu harus digunakan. Dalam hal ini dia memperoleh dukungan dari Churchill sewaktu bertemu di Postdam. Keputusan ini tampaknya diambil berdasarkan pragmatisme belaka, karena bom tersebut hanyalah dipandang sebagai sekadar sebuah senjata kemiliteran dalam perang yang memang perlu digunakan, disamping keyakinannya bahwa dengan bom itu perang cepat dapat diakhiri, dan banyak korban tewas terutama AS, yang dapat diselamatkan.

Dalam wawancara tahun 1958 dengan John Toland, penulis sejarah kemiliteran, Truman menyatakan keputusannya menggunakan bom atom terjadinya begitu saja tanpa melalui perenungan jiwa yang mendalam. “Begitu saja saya memutuskannya. Ya seperti inilah,” ujarnya sambil menjentikkan kedua jarinya.

Keputusan Truman tersebut tidak membatasi penggunaan hanya satu bom atom saja, tetapi suatu kampanye pengeboman sampai jepang benar-benar bertekuk lutut. Panglima Komando Udara Strategis AS Jenderal Carl Spaatz yang mengetahui konsekuensi luar biasa dari operasi pengeboman tersebut, meminta perintah tertulis dari Presiden Truman intuk menjatuhkan bom tersebut. Tanggal 24 Juli Truman merancang surat perintah itu, dan besoknya telah diterima Spaatz.

Dalam surat perintah itu diinstruksikan, Grup Komposit ke-509 dari Angkatan Udara ke-20 adalah yang akan bertugas menjatuhkan bom dengan pengamatan visual atas sasarannya. Waktu untuk serangan ditentukan setelah 3 Agustus dalam kondisi cuaca yang mengizinkan, dengan salah satu dari empat kota sasaran sesuai urutan: Hiroshima, Kokura, Niigata, dan Nagasaki. Instruksi Presiden Truman juga menyebutkan perlunya pesawat tambahan yang harus menyertai pesawat pengebom, untuk membawa personel yang akan mengamati dan merekam akibat ledakan bom tersebut.

Demikianlah satu hari setelah surat perintah keluar, di lepas pantai Pulau Tinian berlabuh kapal penjelajah berat USS Indianapolis. Kapal perang ini yang empat hari kemudian ditenggelamkan kapal selam Jepang, menurunkan muatan super rahasia, berupa silinder metal yang berisi U(urani um )-235, yang akan menjadi jantung bom atom pertama yang operasional. Bom ini dirakit di ruang khusus selama beberapa hari, sementara Grup 509 pimpinan Kol. Paul W. Tibbets Jr melakukan latihan dalam suasana rahasia dengan penjagaan ketat.

Cuaca diramalkan cukup bagus setelah lewat tengah malam 5 Agustus, dan pesawat B-29 Enola Gay (nama ibunda Kol. Tibbets) serta pesawat-pesawat yang menyertainya pun tinggal landas dari Tinian pada pukul 02.45 dini hari 6 Agustus. Sebuah tragedi menyedihkan dalam sejarah kemanusiaan akan terjadi beberapa jam lagi di kota Hiroshima yang kala itu masih tertidur lelap. (***)
Sumber : http://www.riau24.com/berita/baca/69429-di-balik-keputusan-mengebom-hiroshimanagasaki-yang-membunuh-jutaan-penduduk-dalam-hitungan-jam/

Tidak ada komentar:
Write Comments

Interested for our works and services?
Get more of our update !